Asal Muasal Batik
Alkisah pada zaman dahulu kala di Negeri Solonesia ada seorang pemuda bernama Mukidi. Lahir dari antah berantah, tiba-tiba muncul saja di tengah masyarakat Solonesia yang penuh polemik. Sebut saja kasus kasus macam korupsi kelas kakap kakap sudah biasa, apalagi sejak si Gabus T. ditangkap. Mukidi hanya bisa melihat dan mangut-mangut saja, soalnya dia hanya rakyat jelata yang juga mencari sesuap nasi.
Adalah Roro Sayu(sangat ayu), wanita idaman para pria di Solonesia. Parasnya bak putri dari negeri dongeng. Ia diperebutkan seantero negeri juga membuat Mukidi mengincar untuk memperistri. Banyak yang datang pada Roro Sayu untuk menyatakan cintanya, tapi yang datang malah ditolak.
Berbagai cara dan jalan ditempuh Mukidi untuk mendapatkan hati Roro Sayu. Baik cara halal maupun cara haram. Baik bersekutu dengan makhluk halus maupun makhluk jadi-jadian. Tapi ternyata hati Roro Sayu tak kunjung luluh.
Bukan Mukidi namanya jika ia menyerah. Penolakan hari demi hari ia terima. Meski terlilit dalam kemiskinan yang abadi, namun tujuan pribadi tetap tertuju pada Roro Sayu. Hidupnya makin melarat, yang tadinya hidup menumpang di gerobak tukang gerobak yang tak kunjung naik haji, kini ia menggelandang di jalanan. Sungguh tragis bukan?
Tetap saja tantangan hidup ia lalui, dari kekurangan ia masih saja mengharapkan Roro Sayu menerima cintanya. Alhasil pada suatu malam ia diam-diam mencuri TOA warga, kemudian berdiri di depan rumah Roro Sayu. Mukidi berpikir jika cara ini tak berhasil berarti memang hidup dia tak beruntung sekali.
"Wahai Adinda, terimalah cintaku yang tulus ini!" kata Mukidi. "Mukidi, begitu naifnya engkau! Aku tak sudi menerima cintamu itu," kata Roro Sayu. Akhirnya Mukidi pun mengucapkan mantra mistisnya pada pengeras suara itu yang ia dapat dari bisikan ghaib saat bertapa di Kawah Gombaldimuka, "Yu Ayu Kayu Rayu Layu, Wes ewes ewes Susu Gayus! (Artinya: Wahai makhlus[makhluk halus], berikan saya kesaktian menaklukan kecantikan ini!)."
Mendadak balkon rumah Roro Sayu berguncang karena mantra tersebut. Hati Roro Sayu gelisah. Ia menyadari Mukidi menjadi sakti mandraguna secara instan.
"Baiklah, aku terima lalamaranmu! dengan satu syarat:engkau harus membuat 1001 kebaya untuk dihadiahkan kepadaku. Dan engkau harus menyelesaikannya sebelum matahari terbit esok hari!" kata Roro Sayu. "Baiklah, cintaku!" kata Mukidi. Terdengar keramaian dari arah timur menuju ke rumah Roro Sayu, namun para warga yang marah itu hanya menemukan TOA di depan rumah Roro Sayu.
Mukidi pun bergegas menuju paguyuban tukang tenun ternama di Solonesia. Dikumpulkannya tukang tenun terbaik malam itu dari seantero negeri, baik yang berwujud manusia atau jejadian belaka. Paguyuban tersebut menjadi penuh dengan pembuat baju yang bekerja ekstra keras. Roro Sayu pun bingung dengan ramai-ramai di luar sana, kemudian menyadari Mukidi bekerja dengan sakti.
Roro Sayu pun memanggil Mak Ewok, tukang pecel keliling langganan Roro Sayu yang biasa menjadi suruhannya. Mak Ewok dan Roro Sayu berbekal penerangan, kentongan dan ayam jago. Roro Sayu pun berencana menggagalkan rencana Mukidi. Suara kentongan, kokokan ayam jago dan sinar penerangan bukan matahari sukses membuat produksi kebaya tersebut berhenti. Makhluk halus maupun manusia kocar kacir malam itu.
Roro Sayu pun menduga Mukidi selesai membuat semua kebayanya. Ia pun menghitung satu per satu jumlah kebaya, namun ternyata kurang 1. Hasilnya hanya seribu. Mukidi yang tak percaya juga menghitung kembali, dan ternyata memang seribu kebaya saja. Roro Sayu menyuruh Mukidi mengaku kalah, namun ternyata ia menyadari bahwa ini masih tengah malam. Mukadi yang sadar telah diperdaya Roro Sayu mengambil selendang Mak Ewok, kemudian mengucapkan mantranya sambil membalut selendang kain itu ke Roro Sayu, "Zim sala bim!"
Roro Sayu seketika berubah. Wajahnya yang tadi cantik jelita berubah, badannya menjadi kecoklatan dengan antena di kepalanya. Roro Sayu menjadi seekor kecoa yang jika sekali diinjak kaki manusia seratus persen tewas. Kecoa itu pun terbang melarikan diri dan menyisakan sebuah kebaya bermotif yang apik. Mukidi yang masih kesal pun mengambil kebaya itu dan menjadikannya kebaya ke 1001. Ia pun menamakan:batik , karena kebaya tersebut ia dapatkan dari mengutuk seseorang di sebuah butik malam itu.
Adalah Roro Sayu(sangat ayu), wanita idaman para pria di Solonesia. Parasnya bak putri dari negeri dongeng. Ia diperebutkan seantero negeri juga membuat Mukidi mengincar untuk memperistri. Banyak yang datang pada Roro Sayu untuk menyatakan cintanya, tapi yang datang malah ditolak.
Berbagai cara dan jalan ditempuh Mukidi untuk mendapatkan hati Roro Sayu. Baik cara halal maupun cara haram. Baik bersekutu dengan makhluk halus maupun makhluk jadi-jadian. Tapi ternyata hati Roro Sayu tak kunjung luluh.
Bukan Mukidi namanya jika ia menyerah. Penolakan hari demi hari ia terima. Meski terlilit dalam kemiskinan yang abadi, namun tujuan pribadi tetap tertuju pada Roro Sayu. Hidupnya makin melarat, yang tadinya hidup menumpang di gerobak tukang gerobak yang tak kunjung naik haji, kini ia menggelandang di jalanan. Sungguh tragis bukan?
Tetap saja tantangan hidup ia lalui, dari kekurangan ia masih saja mengharapkan Roro Sayu menerima cintanya. Alhasil pada suatu malam ia diam-diam mencuri TOA warga, kemudian berdiri di depan rumah Roro Sayu. Mukidi berpikir jika cara ini tak berhasil berarti memang hidup dia tak beruntung sekali.
"Wahai Adinda, terimalah cintaku yang tulus ini!" kata Mukidi. "Mukidi, begitu naifnya engkau! Aku tak sudi menerima cintamu itu," kata Roro Sayu. Akhirnya Mukidi pun mengucapkan mantra mistisnya pada pengeras suara itu yang ia dapat dari bisikan ghaib saat bertapa di Kawah Gombaldimuka, "Yu Ayu Kayu Rayu Layu, Wes ewes ewes Susu Gayus! (Artinya: Wahai makhlus[makhluk halus], berikan saya kesaktian menaklukan kecantikan ini!)."
Mendadak balkon rumah Roro Sayu berguncang karena mantra tersebut. Hati Roro Sayu gelisah. Ia menyadari Mukidi menjadi sakti mandraguna secara instan.
"Baiklah, aku terima lalamaranmu! dengan satu syarat:engkau harus membuat 1001 kebaya untuk dihadiahkan kepadaku. Dan engkau harus menyelesaikannya sebelum matahari terbit esok hari!" kata Roro Sayu. "Baiklah, cintaku!" kata Mukidi. Terdengar keramaian dari arah timur menuju ke rumah Roro Sayu, namun para warga yang marah itu hanya menemukan TOA di depan rumah Roro Sayu.
Mukidi pun bergegas menuju paguyuban tukang tenun ternama di Solonesia. Dikumpulkannya tukang tenun terbaik malam itu dari seantero negeri, baik yang berwujud manusia atau jejadian belaka. Paguyuban tersebut menjadi penuh dengan pembuat baju yang bekerja ekstra keras. Roro Sayu pun bingung dengan ramai-ramai di luar sana, kemudian menyadari Mukidi bekerja dengan sakti.
Roro Sayu pun memanggil Mak Ewok, tukang pecel keliling langganan Roro Sayu yang biasa menjadi suruhannya. Mak Ewok dan Roro Sayu berbekal penerangan, kentongan dan ayam jago. Roro Sayu pun berencana menggagalkan rencana Mukidi. Suara kentongan, kokokan ayam jago dan sinar penerangan bukan matahari sukses membuat produksi kebaya tersebut berhenti. Makhluk halus maupun manusia kocar kacir malam itu.
Roro Sayu pun menduga Mukidi selesai membuat semua kebayanya. Ia pun menghitung satu per satu jumlah kebaya, namun ternyata kurang 1. Hasilnya hanya seribu. Mukidi yang tak percaya juga menghitung kembali, dan ternyata memang seribu kebaya saja. Roro Sayu menyuruh Mukidi mengaku kalah, namun ternyata ia menyadari bahwa ini masih tengah malam. Mukadi yang sadar telah diperdaya Roro Sayu mengambil selendang Mak Ewok, kemudian mengucapkan mantranya sambil membalut selendang kain itu ke Roro Sayu, "Zim sala bim!"
Roro Sayu seketika berubah. Wajahnya yang tadi cantik jelita berubah, badannya menjadi kecoklatan dengan antena di kepalanya. Roro Sayu menjadi seekor kecoa yang jika sekali diinjak kaki manusia seratus persen tewas. Kecoa itu pun terbang melarikan diri dan menyisakan sebuah kebaya bermotif yang apik. Mukidi yang masih kesal pun mengambil kebaya itu dan menjadikannya kebaya ke 1001. Ia pun menamakan:batik , karena kebaya tersebut ia dapatkan dari mengutuk seseorang di sebuah butik malam itu.
Comments
Post a Comment