Aku, korban zaman
Ketika kita mati, kita tahu bahwa kita menyadari hidup ini
fana, hanya sekali saja. Jika kita mati dalam keadaan miskin, itu kesalahan
kita. Seseorang pernah berkata, cara kita menghadapi maut berbeda-beda. Ada
yang mati dalam damai, ada yang mati menggenaskan, mati dengan terhormat, mati
syahid, mati dengan menyedihkan. Meski begitu, kau tahu, tiap orang yang mati
seharusnya meninggalkan kesan bagi dunia ini, iya kan! Mati hidup katanya,
seseorang yang telah mati namun tetap hidup di tengah masyarakat. Lawannya,
hidup mati, seseorang yang masih hidup namun dianggap telah mati di tengah
masyarakat.
Kukatakan padamu, caraku ini sungguhlah menyedihkan. Cara
yang menyedihkan ke alam baka. Yah, ini
memang cerita yang tak berakhir bahagia seperti kisah dongeng yang kau tahu.
Dimulai pada sebuah hari di bulan Januari. Seorang tokoh
masyarakat, yang saat itu dituakan, terpaksa menduduki jabatan sebagai kepala
desa kami. Sementara diri ini, hanya seorang anak piatu yang masih ingin
belajar dan belajar. Tak lain dari sarana pendidikan, sekolah.
Eksekusi pun marak terjadi. Diri ini mengetahui, di Ibukota
sana telah terjadi timpang tindih kekuasaan. Rezim yang tak diinginkan
berganti, layaknya ulat yang menggelikan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang
siap melebarkan sayapnya. Dampaknya tak hanya di sana, tapi berdampak nasional.
Hidup di pesisir bukan suatu yang mudah karena berbagai tantangan zaman ini. Ekonomi
yang melesu menyangkut hajat banyak orang, biaya hidup yang tka terkendali.
Keluarga kecil ini salah satu kaum papa yang dianggap remeh. Aku beruntung,
dapat memakan bangku sekolah meski kakakku jauh lebih beruntung karena masih
dapat melanjutkan hidup di dunia yang fana ini.
Rezim ini sudah menjadi pengadilan, penghakiman. Bergantilah
rezim kekuasaan tak ayal di desaku. Tak ayal bukan karena haus kekuasaan, tapi
kepala desa sebelumnya tereksekusi dengan rapi. Isu beredar, memang mereka para
ekstrimis yang termasuk golongan merah. Mereka, yang disebut golongan merah
yang tak terpuaskan dengan zaman mengorbankan saudara tumpah darahnya sendiri,
disebut golongan putih yang terdiri atas beberapa tokoh masyarakat dan para ahli
agama.
Gerakan intelektual yang mendesak rezim membuat keadaan
semakin menjadi-jadi. Kami, kaum papa menjadi korbannya. Kesenjangan semakin
terasa. Hidup bagai di ujung tanduk, berjuang tiap hari di tanah ini. Bagai penyu
yang terusir dari tempurungnya sendiri. Apakah manusia sudah penuh dengan dosa-dosa?
Inikah murka Tuhan?
Yah, inilah aku. Berjalan di senja sore di jalanan setapak
desa berpakaian seragam penuh bercak merah. Yah, hidup ini tak berarti apa-apa.
Aku memang menjadi orang yang Hidup Mati. Guruku kini tinggal nama saja. Aku
berpulang ke pangkuan ayahanda, bagai pulang dari sebuah pesta. Ya, pesta
pembantaian diselenggerakan , baik terbuka maupun tertutup. Dan kini pesta itu
telah kudatangi, "bersenang-senang" di pesta terbuka yang dapat
didatangi siapapun, dan penuh probabilitas untuk menemui sang malaikat maut.
Berpulang dari pesta, bukan senyuman yang kudapati, malah
linangan air mata seorang ayah dan seorang kakak. Aku hanya dapat terbata-bata berkata,
inilah sakratul maut? Cairan merah keluar tak hanya dari mulutku, dari tukak
lambung yang sudah bocor juga membasahi pakaian seragam ini. Ah, jadi ini
akhirnya? Aku tak sempat berbuat apa-apa. Aku tidak pernah ingin meninggalkan dunia
ini begitu cepat. Samar-samar kesadaranku hilang. Begitu menyedihkannya
melihatku seperti ini. Aku yang tak tahu apa-apa, menjadi korban ganasnya
zaman.Mungkin. Yah, mungkin! Aku menyusulmu ibuku, di surga.
Comments
Post a Comment